Setiap
manusia dituntut untuk selalu belajar. Ada yang mengatakan bahwa hanya
manusia bodoh dan pemalas yang tidak pernah mau belajar. Belajar adalah
sebuah proses, dan proses tersebut tidak boleh putus. Orang Barat (kita
menyebutnya bule-bule) mengatakannya sebagai lifetime learning atau juga never ending education. Kita mungkin bertanya sejenis makanan apaan sih
itu? Sederhananya saya membahasakan itu sebagai belajar seumur hidup
dan karenanya seumur hidup kita adalah untuk terus belajar. Kenapa harus
terus-terusan belajar? Karena kita bukan Tuhan, maka kita harus
belajar, dan belajar, dan teruslah belajar. Sepanjang kita meniti hidup
ini, sampai suatu saat nanti ketika ajal datang menjemput kita, selama
itu pula kita harus terus belajar.
Apa
yang perlu kita pelajari selama itu? Banyak! Bukan hanya belajar
pelajaran sekolah, tapi pelajaran-pelajaran yang tidak Anda temui di
bangku sekolah. Belajar untuk sabar, belajar memahami dan
menjalani hidup, belajar untuk mampu mensyukuri apa yang sepintas
terlihat tak pantas disyukuri, belajar menahan amarah, belajar mencintai
orang yang sepertinya tak layak dicintai, belajar mengasihi mereka yang
berbeda dengan kita, belajar memberi dari segala kekurangan kita, dan
masih banyak lagi. Termasuk belajar hidup secukupnya, tidak
serakah dan berlebihan. Pelajaran yang kita terima dan peroleh tersebut
akan membuat kita semakin kaya dalam hidup ini. Apapun jabatan dan
status sosial yang kita sandang.
Kita
memang hanyalah manusia biasa. Kita adalah ciptaan dan bukannya Sang
Pencipta.
Sebagai akibat dari kebukanan kita sebagai pencipta tapi
kehanyaan kita sebagai manusia, serta merta menjadikan kita nisbi
terhadap kesempurnaan dan absolut terhadap kelemahan dan
ketidaksempurnaan. Kita punya bergudang-gudang kekurangan dan
berkarung-karung kelemahan. Oleh karenanya jangan pernah ada yang
memegahkan diri. Jangan pernah ada yang merasa paling pintar, paling
berkuasa, paling maha tahu, paling sempurna, dan tidak pernah merasa
berbuat salah. Serempak kita mesti semakin menyadari bahwa kita bukan
siapa-siapa, dan bukan apa-apa tanpa campur tangan Tuhan dalam hidup
kita.
So people,
apa arti semuanya itu? Gampang. Artinya bahwa Anda dan saya tidak ada
yang luput dari kesalahan. Lantas apa tindakan kita setelah mengetahui
bahwa kita tidak sempurna? Yah koreksi diri masing-masinglah. Jangan
terlalu arogan dan merasa diri begitu perfect sampai-sampai orang lain kita anggap so stupid.
Anda dan saya, kita semua, harus terus belajar dan belajar lebih keras
lagi di sepanjang hidup kita, selagi masih diberi kesempatan untuk itu
(baca: selama hayat masih dikandung badan).
Lantas
apakah kita juga boleh belajar dari kekurangan dan keterbatasan? Oh,
sangat boleh saudara-saudara sekalian. Sangat boleh, bahkan harus.
Begini sobat-sobat sekalian. Coba pejamkan mata kita barang sebentar
saja. Nah, begitu dong. Sekarang buka matanya lebar-lebar. Apa
perbedaan paling mendasar ketika mata kalian tertutup dan tatkala
membukanya kembali? Apa…? Kurang keras jawabannya, saya tak begitu
mendegarnya. Nah, begitu dong! Jawabannya tepat sekali. Terang
dan gelap. Atau gelap dan terang. Ketika mata tertutup – gelap. Begitu
mata dibuka – terang. Kenapa saya menanyakan ini? Sekaranglah waktunya
Anda menunjukkan kemampuan hasil belajar Anda. Darimana Anda tahu bahwa
yang gelap itu gelap dan yang terang itu terang? Bagaimana Anda
membedakannya dan apa makna terselubung dari adanya gelap dan terang
(habis gelap terbitlah terang)? He he he bingung? Iya, saya juga.
Saya
pengen banget mengulangi sekali lagi, Mengulangi untuk mengatakan bahwa
janganlah hendaknya kita berpikir berpikir bahwa belajar itu hanya
diperoleh dari bangku sekolah. Sama sekali bukan itu yang saya maksudkan
dalam hal ini. Belajar adalah setiap kali kita dapat mengambil hikmah
dari apa yang terjadi di sekitar kita, maupun di dalam diri kita.
Peristiwa dan kejadian-kejadian tersebut dapat saja melalui alam,
orang-orang di lingkungan sekitar kita, keluarga terdekat kita, ataupun
tetangga jauh yang tidak kita kenal sama sekali. Belajar yang
demikianlah yang saya maksudkan wahai saudara-saudari sebangsa dan
setanah air (kayak pidato Bung Karno aja….).
Sudah
terlalu sering dan banyak contohnya kita disuruh, diminta, diajak,
bahkan setengah dipaksa untuk belajar dari kelebihan-kelebihan,
kehebatan-kehebatan, keberuntungan-keberuntungan dari orang-orang
terbaik. Kita diminta untuk mengintip tips-tips dan ‘how to become’ nya orang-orang terkenal tersebut. Bahkan saking penasarannya tak sedikit yang pengen
menjelma secepat kilat menjadi seperti sang idola tersebut. Tak sedikit
yang coba-coba untuk sesegera mungkin menjadi orang yang super duper
hebat. Atau ada yang kepengen banget menjadi seseorang yang instantly rich.
Kita
kemudian seperti terhipnotis untuk mangut-mangut, menerima, dan setuju
banget terhadap berbagai ‘ajakan instant’ yang tidak pada tempatnya.
Okelah kita tidak perlu munafik. Siapa sih yang tidak mau sukses? Siapa
sih yang tidak pengen jadi kaya raya? Siapa sih yang tidak suka jadi
orang terkenal dan disanjung-sanjung? Tapi sekali lagi, apapun yang kita
kejar dan idamkan mesti diperjuangkan dan diusahakan. Tidak jarang,
bahkan harus dengan darah dan air mata. Dan lagi, apa yang diperoleh
secara instant biasanya akan hilang secara instant pula. Trust me on this one, folks!
Sekarang
saya ingin menyentil sedikit tentang ketertarikan kita dan obsesi kita
yang begitu menggebu-gebu untuk belajar dari mereka yang sudah sukses
secara keuangan, mapan, dan memiliki harta melimpah. Mereka yang sudah
berada pada daftar manusia-manusia paling kaya. Banyak penulis (termasuk
penulis buku) yang menyarankan, dan bahkan menggugah Anda untuk menjadi
seperti orang-orang kaya tersebut. Contoh orang-orang kaya ditampilkan,
sebut saja Donald Trump, Bill Gates, Carlos Slim, Warren Buffet,
Rockefeller, dan masih banyak lagi. Wah, siapa tidak kepengen jadi seperti mereka silahkan angkat kaki? Semuanya tentu kepengen banget
jadi seperti mereka bukan? Hanya segelintir “orang gila” yang menolak
mentah-mentah untuk jadi orang kaya. Apakah cita-cita menjadi orang kaya
itu salah? Tentu saja tidak.
Keinginan
menjadi orang kaya sah-sah saja. Tapi itu akan menjadi sangat berbahaya
dan cenderung menjadi negatif ketika sudah berubah menjadi sebuah obsesi
buta. Orang yang terlalu terobsesi menjadi kaya, bisa menjadi nekat dan timbul tekad untuk melakukan apapun, termasuk menghalalkan segala cara untuk mewujudkan obsesinya itu.
Yang paling kentara adalah melakukan korupsi. Orang-orang ini
sebetulnya sudah lebih dari cukup (baca: kaya), tapi karena obsesi buta
mereka menjadi SERAKAH. Di negeri ini, pejabat dan penguasa sudah hafal
betul bagaimana melakukan korupsi yang benar. Ini yang sangat berbahaya.
Ini racun masyarakat modern. Ini bumerang bagi orang yang terlalu haus
kekayaan. Dan orang-orang seperti itu perlu sekali belajar menjadi orang
miskin. Belajar menjadi orang-orang gagal. Lebih tepatnya, orang-orang
gagal yang sukses. Selamat Hari Senin, folks!
—Michael Sendow—
http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/07/belajar-menjadi-miskin-522288.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar