Setelah pada
artikel sebelumnya saya menjelaskan bagaimana memilih tujuan hidup yang baik
sesuai dengan persepsi dan kepercayaan kita. Kali ini saya akan bercerita
mengenai tujuan-tujuan hidup saya dalam hidup ini dan lika-liku perjalanan
dalam mengejar dan menentukan tujuan saya. Semoga anda sudah menemukan tujuan
hidup anda yang paling besar dan paling baik untuk diri anda dan orang-orang
yang anda sayangi.
Sebelumnya
perkenalkan dulu nama saya Galih Permana Putra, anda bisa memanggil saya dengan
nama Galih, Aih, Mbe, Kaming, Sutet, atau PePe. Mungkin anda agak sedikit aneh
dengan nama-nama panggilan saya. Namun nama-nama itulah yang paling sering
teman-teman saya gunakan untuk memanggil saya dan semua nama itu memiliki
sejarah masing-masing sehingga saya tidak menghilangkan satupun nama panggilan
saya karena saya ingin selalu mengenang dan tidak melupakan apa yang telah
menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Saya seorang anak yatim piatu, ayah
saya meninggal ketika saya masih berumur sekitar 5-6 tahun dan ibu saya
meninggal ketika saya SMP kelas 1. Dan sekarang saya berumur 21 tahun, kuliah
di salah satu PTS di Tasikmalaya. Di dunia ini saya hidup bersama 2 orang adik
laki-laki dan 2 orang kakak perempuan dan nenek saya tercinta yang telah
mengayomi dan membimbing saya selama ini.
Saya memiliki
cita-cita pertama saya pada saat SD kelas 1, itupun karena setiap murid di
kelas saya ditanya oleh guru kelas mengenai cita-cita mereka bukan karena
keinginan dan hasil pemikiran saya, dan saya menjawab ingin menjadi seorang
guru. Kenapa saya menjawab seperti itu? Entahlah, kata “guru” itulah yang
pertama kali saya ingat. Mungkin karena kedua orang tua saya seorang guru
sehingga saya akrab dengan kata “guru” tersebut. Namun seperti anak-anak SD
pada umumnya cita-cita itu tak bertahan lama kemudian saya berganti cita-cita
ingin menjadi seorang polisi karena seorang keluarga saya melihat postur tubuh
saya sewaktu kecil dulu terlihat besar dan kekar, walaupun sekarang lebih
seperti ‘ayam boyler’, besar tapi lembek. *Hehe :D*. Itulah cita-cita kedua
saya dan cita-cita pertama yang murni hasil dari pemikiran dan keinginan
pribadi saya.
Waktu berlalu
dari SD hingga SMA, setelah berjuang mengatasi rasa kehilangan karena kematian
ayah dan ibu saya dengan berbagai cara dari mulai kenakalan-kenakalan remaja
saat itu seperti minum-minuman keras, nongkrong sana nongkrong sini demi
mencari pengganti rasa kesepian dan kesedihan saya. Masa-masa SD-SMA kelas 2
saya lewati tanpa ada sesuatu yang berarti. Sampai saya menginjak kelas 2 SMA
tepatnya pada semester 2. Saya dididik oleh beberapa orang guru yang luar
biasa, mengajarkan kepada murid-muridnya mengenai kehidupan, mengenai pencarian
jati diri, mengenai ketabahan, mengenai kegigihan, mengenai tanggung jawab dan
mengenai cita-cita. Ada satu kejadian yang saya masih ingat persis sampai
sekarang, yaitu ketika saya di remedial ulangan mata pelajaran Biologi selama 5
kali dan tidak pernah bisa lulus. Namun itulah yang membuat saya sadar setelah
mendapatkan ceramah dari guru Biologi saya saat itu Ibu Hj. Iis namanya. Dari
sanalah saya mulai berpikir tanggung jawab dan menerima resiko dari apapun yang
saya lakukan. Kepala saya secara otomatis langsung terhubung dengan cepat
seperti koneksi Wi-Fi di Gedung DPRD yang sering saya gunakan untuk browsing
dan menimbulkan beberapa karakter pada layar pikiran saya. Kenapa saya hidup? Untuk apa saya hidup? Kenapa saya
sekolah? Kenapa saya begini? Kenapa saya begitu? Dan pertanyaan-pertanyaan lain
mengenai kehidupan saya. Jawaban yang saya temukan saat itu hanya dapat
menjawab dua pertanyaan saja yaitu saya hidup karena saya dilahirkan oleh Allah
melalui rahim ibu saya, dan saya sekolah karena ingin mendapatkan ilmu yang
bisa saya gunakan untuk mendapatkan pekerjaan saat nanti saya sudah dewasa. Sedangkan
pertanyaan-pertanyaan lain tidak bisa saya jawab.
Ketika
kelulusan SMA dan sebelum mendaftar ke perguruan tinggi, pada saat itulah saya
mulai berpikir mengenai apa yang saya inginkan dalam hidup ini khususnya dalam
keprofesian yang ingin saya miliki nanti. Saat itu saya teringat dengan
cita-cita saya sewaktu SD yaitu menjadi guru dan saat ini saya memiliki mata
pelajaran yang sangat saya senangi yaitu Biologi. Setelah berdiskusi dengan
kakak-kakak saya dan mereka memberikan kebebasan kepada saya untuk memilih jurusan dalam jenjang pendidikan saya yang
berikutnya yaitu ke perguruan tinggi, saya memutuskan untuk mengikuti tes masuk
di tempat saya kuliah sekarang dengan mengambil pilihan jurusan pertama pada
FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Biologi dan pilihan kedua pada FKM
(Fakultas Kesehatan Masyarakat). Minat saya dalam pelajaran biologi memang
cukup besar saat itu. Namun Allah berkehendak lain, saya gagal masuk ke jurusan
Biologi dan saya masuk ke Fakultas Kesehatan Masyarakat, tak apalah dalam ilmu
kesehatan juga tetap ada pelajaran biologi. Sedikit menghibur hati saya.
Setelah satu
semester saya masuk kuliah, saya mengikuti OTC (Organitation Training Centre) yang diadakan oleh BEM fakultas saya.
Dan menjadi anggota OR (Open Recruitment)
selama ± 1 tahun. Pada saat
menjadi anggota OR inilah kehidupan saya benar-benar berubah 180˚. Sangat amat banyak pelajaran
mengenai kehidupan yang saya dapat selama menjadi OR. Menjadi anggota OR selama
satu tahun mampu membuat saya mengenali diri saya, pertanyaan-pertanyaan saya
sewaktu SMA dulu mengenai kehidupan saya terjawab semua. Saya berubah menjadi
seseorang yang dewasa, bertanggung jawab dan bisa bekerja sama dengan orang
lain, tegas, dan rajin (menurut teman-teman saya). Saya juga bisa mengenali diri
saya yang keras kepala, kekanak-kanakan pada saat-saat tertentu, plin-plan,
kurang bisa mengatur keuangan dan waktu dan lain sebagainya. Semua itu saya
dapatkan setelah saya menjalani kehidupan di organisasi. ada satu kalimat yang
sampai sekarang masih membuat saya heran.
“Diri
kita saat ini, hari ini adalah hasil dari apa yang kita dapatkan pada masa lalu
dan hari kemarin dan yang kita dapatkan itu berasal dari pelajaran yang kita
sadari penerimaanya dan tidak kita sadari penerimaannya selama menjalani
hidup”.
Saya sama
sekali tidak berpikir bahwa semua yang terjadi pada saya sewaktu kecil sampai
saat itu membantu saya membentuk karakter pribadi saya. Karena selama ini saya
hanya menjalani hidup mengikuti apa yang telah Allah takdirkan tanpa memikirkan
manfaatnya pada diri saya. Saya bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia
berikan pada hidup saya.
Sejak saat itu
saya mulai menyusun cita-cita saya dikemudian hari beserta dengan batas-batas
dan indicator yang harus saya capai sebagai tanda kesuksesan saya dalam
mengejar cita-cita saya. Semuanya tergambar jelas dalam benak saya, apa saja
yang akan saya lakukan selama kuliah dan apa yang saya lakukan pada saat
setelah lulus kuliah demi mencapai cita-cita yang telah saya tanam sendiri
dalam batin saya. Cita-cita tak perlu dikatakan atau diungkapkan pada orang
lain, jika seseorang bercita-cita mendapatkan sesuatu dan memiliki keinginan
untuk memperjuangkan cita-citanya itu, akan terlihat dengan sendirinya ketika
kita bersikap dan mengambil tindakan dalam menjalalni kehidupan ini. Karena
orang yang memiliki keinginan untuk memperjuangkan cita-citanya pasti memiliki
suatu aturan tak tertulis dalam memilih apa yang akan mereka lakukan. Dan ingat
jangan pernah menyerah dan jangan pernah kalah dengan semua keterbatasan yang
kita miliki di dunia ini. Putus asa hanya berlaku untuk orang-orang ‘bodoh’.
Tak ada yang tidak mungkin didunia ini selama kita mau berusaha. Dan ketika
kaki kita tak mampu lagi melangkah, mulut kita tak mampu lagi berucap, mata
kita tak mampu lagi menatap api semangat, telinga kita tak mampu lagi mendengar
teriakan semangat, hanya satu yang bisa kita lakukan “bertawakalah !!”
percayakan semua pada Allah. Dzat yang telah menciptakan kita dengan takdir
yang telah Dia tetapkan. Berdo’a dan berusahalah sampai batas terakhir
kemampuan kita. Semua yang kita usahakan Insyaallah akan mendapat hasil yang
sesuai dengan usaha yang kita lakukan.