Sabtu, 30 Maret 2013

Ketika Cinta Harus Bersabar

Jika Allah tak memberimu seseorang yang kamu impikan, semoga Dia menghadirkan seseseorang yang memimpikanmu.

Bila Allah tak memberimu seseorang yang kamu rindukan, semoga Dia menghadirkan seseorang yang merindukanmu.

Bila Allah tak memberimu seseorang yang kamu dambakan, semoga Dia memberimu seseorang yang mendambakanmu.

Bila Allah tak menyatukanmu dengan seseorang yang kamu cintai, semoga Dia menghadirkan seseorang yang mencintaimu.

Semoga Allah menghadirkan seseorang yang bukan mencintaimu HANYA karena apa yg ada padamu.... tapi mencintai apa adanya dirimu !

Sujudkan Hati dan jiwamu.. Semoga Allah memberikanmu jodoh yang TERBAIK dengan segala keindahan hati dan ketakwaannya.

Jodohmu takan jauh dari sifat dan pribadinya sepertimu.. Menanam yang baik, Insya Allah akan memetik hasil yang baik juga.

Inilah cinta sejati.. cinta yg tak perlu kau tunggu.. tapi dia tumbuh bersama doa malam yg teduh.. tak tersentuh oleh mata dunia yg palsu..

Barangsiapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang karena Allah. [HR. Ahmad]


Rabu, 27 Maret 2013

.: Berhati-hatilah dengan Waktu Luang :.


Menunda-nunda pekerjaan, hal itu yang sering saya lakukan selama beberapa bulan ini. Cicilan skripsi, tugas-tugas organisasi, tugas-tugas ke-RT-an, dan hal-hal lain. Begitu besar rasa malas saya kepada hal-hal itu. Paradigma 'masih lama' atau 'sedang tidak mood' menjadi satu paradigma yang melekat selama beberapa bulan ini. Akhirnya saat deadline merayap mendekati, saya pontang-panting mengerjakan semua hal dalam satu waktu. Bahkan ditambah lagi tugas dadakan yang di PR-kan oleh dosen pembimbing.
Penyesalan memang selalu datang belakangan, penyesalan terjadi karena ada suatu kesalahan dalam memilih/memutuskan sesuatu, dalam kasus saya adalah lebih memilih berleha-leha daripada menyicil pekerjaan saya.

Meskipun memang bisa saya selesaikan, energi saya terkuras habis, 2 hari 2 malam hanya tidur selama 2 jam saja. Duduk diantara kertas-kertas hampir selama 12 jam sehari, mondar-mandir di kampus dari siang sampai sore dengan berbagai keperluan. Jika pekerjaan ini saya cicil daridulu mungkin tidak akan sebanyak ini waktu, tenaga dan pikiran yang harus saya gunakan.

Padahal sudah jelas-jelas Rasulullah menyatakan dalam hadist yang diriwayatkan BUkhari "Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang.”

Waktu senggang yang mungkin pada awalnya kita gunakan sebagai waktu untuk menghilangkan kejenuhan akhirnya begeser menjadi kemalasan yang persisten, berorientasi pada kesenangan dan melupakan kewajiban-kewajiban baik itu kewajiban dunia maupun kewajiban beribadah.

Santai memang diperbolehkan tapi harus proporsional dengan melaksanakan kewajiban. Ketika santai mulai tidak proporsional yang ada hanya pencarian kesenangan dan hura-hura semata.

Ketika diri mulai sadar telah termakan oleh godaan kesenangan. Maka, niatkan dalam hati untuk tidak seperti itu. Mulailah mencari kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu luang. Mulailah produktif ketika mengisi waktu luang, hasilkan sesuatu apapun itu, in a positive way tentunya.

Ada banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih dan jenuh kadang tidak cuma bisa disegarkan dengan santai. Ada banyak cara agar penyegaran bisa lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari lalai.

Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan shalat malam.

Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah saw. pernah lomba lari dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun keharmonisan keluarga. Dengan kemajuan teknologi saat ini tentu banyak hal bermanfaat lainnya, blogwalking membaca artikel-artikel yang menambah wawasan. Atau mencoba untuk menulis, berbagi  ilmu dan pengalaman. Hal-hal tersebut tentu akan lebih bermanfaat daripada hanya melakukan kesenangan/hura-hura.

Rasulullah saw. mengatakan, “Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)

Kamis, 21 Maret 2013

Malaikat Tak Bersayap

gambar : mshennie.files.wordpress.com
Hari ini, raja matahari tak melepaskan tatapannya dari bumi, begitu tajam begitu menyengat. Membuat siapa saja yang terkena tatapannya mengeluarkan peluh-peluh kecil di dahi dan pelipisnya. Saat itu saya sedang dalam perjalanan menuju kampus di kota tetangga. Panas yang begitu terik membuat baju saya basah oleh keringat dan membuat pikiran terasa begitu penat. wajah saya seperti mengembang karena panas dan kemudian menyusut karena didinginkan oleh keringat sehingga tampak kusut. Mata saya terasa berat untuk membuka mata. Aaahhhhh.. Memang siang-siang seperti ini enaknya memang tidur di rumah.
Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit saya sampai di tempat saya biasa menunggu angkutan umum menuju ke kampus saya, perjalanan masih sekitar 1 jam lagi dan masih harus 2 kali naik angkutan umum, begitu berat rasanya membayangkan bagaimana nanti ketika di perjalanan tubuh saya basah kuyup terpanggang, belum lagi kondisi di dalam mobil angkutan umum yang biasanya penuh sesak. Tapi kewajiban saya sebagai pembimbing kegiatan kemahasiswaan mengharuskan saya menahan semua rasa malas saya dan menarik nafas panjang untuk sekedar mengingatkan diri sendiri agar tidak mengeluh.
Tidak lama, mobil saya tunggu datang. Kebetulan kursi depan di sebelah supir kosong, saya langsung ambil posisi duduk disana, lumayan daripada di belakang pasti bakal berjejal-jejal.
Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman, saya langsung mengeluarkan notebook saya karena ada satu tugas yang belum selesai.
selama di perjalanan, penumpang mobil itu tidak banyak hanya beberapa orang saja. Itu pun dengan jarak yang dekat sehingga ongkos yang di berikan pun nominalnya tidak besar. Saya merasa kasihan dengan supir yang rupanya sudah cukup berumur, dengan menggunakan kemeja yang ukurannya terlalu besar, kancingnya terbuka dan celana pendek yang lumayan usang. Namun ketika saya memperhatikan pak supir, ada sesuatu yang membuat pikiran saya kembali sejuk. Tak lama seorang penumpang turun dan memberikan ongkos sebesar seribu rupiah, saya agak aneh karena melihat jarak yang ditempuh penumpang itu harusnya membayar ongkos sebesar tiga ribu rupiah. Sekali lagi saya merasa sejuk ketika mendengar ucapan pak supir seolah tahu dengan apa yang ada dalam pikiran saya.
    "Nuju teu gaduheun panginten jang". Ucap supir itu.
saya langsung diam, dan merenung. Seorang supir dengan dandanan seperti ini bisa begitu ikhlas begitu tenang dan tidak mengeluh dengan ongkos pemberian penumpang itu meski ongkosnya kurang.
satu ucapan yang membuka pikiran saya dan mengingatkan saya dengan apa yang telah saya ikrarkan dalam tulisan saya sebelumnya untuk tidak mengeluh. bagaikan seorang malaikat yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa untuk mengembalikan  saya pada apa yang telah saya niatkan. Ya, malaikat.
Terkadang, malaikat itu hanya seorang supir angkutan umum yang tak bersayap, tak cemerlang dan tak rupawan. Mungkin saat ini disisi anda terdapat seorang malaikat yang akan membawa pintu hikmah bagi anda, buka mata, buka hati dan buka pikiran anda untuk setiap orang yang anda temui karena anda telah di takdirkan untuk bertemu dengan orang-orang itu dan pasti selalu ada hikmah dari setiap kejadian.
Selamat Pagi.. :)

Rabu, 20 Maret 2013

Hidup Yakin

Percayalah Pada Allah.. Semua kemampuan yang ada dalam diri datangnya dari Allah..

Motivasi itu datang dari sendiri, orang lain hanya media untuk membuka pintu motivasi itu..

Masalah datang ketika kapasitas diri kita lebih kecil dari hambatan.. tingkatkan kapasitas diri dan raih mimpi mu..

Lakukan yang bisa kamu lakukan, Allah akan lakukan apa yang tidak mampu kamu lakukan.. Yakinlah akan pertolongan-Nya..

Hidup Yakin..

Kenali diri, gali semua potensi yang ada pada dirimu, tembus batas kemampuanmu.

Senin, 11 Maret 2013

PENGORBANAN SEORANG ADIK ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.

Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.

Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? …

Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”. Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.

Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku.

Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.

Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.

Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.

Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”

Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”. Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.

“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.”Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu.

Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…”Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa.

Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya.

Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu.

Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Bahkan tanpa berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.

Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.

Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. (kiriman sahabat)

Anak anak sholih dan sholikah didapat dari tempaan hidup, kompetisi yang didasari iman, islam. Semoga kita semua disini diberi kempatan untuk menjadi orang tua yang memiliki anak anak sholih sholikah dapat berkumpul kembali di akhir nanti. Ayahbunda semua dimampukan untuk membimbing putra dan putrinya semua, diberi kekuatan untuk memfasilitasi belajar yang terbaik, hanya kepada Engkau ya Robb kami meminta,...

Jadilah Orang Yang Kuat Dengan Tidak Mengeluarkan Keluhan

Mengeluh, setiap manusia di dunia ini pasti pernah mengeluh. Setiap ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya hampir pasti dikeluhkan, mengeluhkan diri sendirikah, orang lainkah, bendakah atau apapun yang menurut dia menjadi penyebab tidak tercapainya keinginannya.
Mengeluh itu adalah kebiasaan yang dibenarkan, padahal mengeluh adalah salah satu tanda tidak bersyukur. Bahkan terkadang kita mengeluh dengan nada bicara yang membanggakan keluhan kita. Entah apa maksudnya, mencari sensasi atau sekedar mengharap perhatian.
Sebelum menjadi anggota BEM beberapa tahun yang lalu saya adalah seorang yang senang dengan mengeluh dan senang juga mendengarkan keluhan orang lain. Setiap orang yang memiliki keluhan dan keluhannya sejalan dengan keluhan saya akan saya layani keluhannya dengan keluhan lagi hingga akhirnya sampailah kita pada yang namanya Ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang memang benar adanya.
Beberapa bulan terakhir saya membaca salah satu status facebook teman saya yang mengucapkan "mengeluh itu hanya membuat lemah.." sederhana tapi maknanya luar biasa untuk saya.
Ketika membaca itu saya langsung mempertanyakan kebenarannya dan ternyata memang benar. Seperti saya sebutkan di awal, mengeluh adalah salah satu tanda tidak bersyukur. Jika tidak bersyukur maka tidak bisa menikmati apa yang ada, tidak bisa menikmati apa yang ada tidak akan pernah bahagia karena akan selalu merasa kekurangan, tidak bisa menerima kekurangan berarti mentalnya lemah. Mengeluh juga secara tidak langsung memberitahukan kepada orang lain bahwa kita itu lemah terutama untuk orang-orang yang selalu mengeluh di jejaring sosial, selain membuka kelemahannya sendiri dia juga membuka aib terhadap apa yang dikeluhkannya, meskipun yang dikeluhkannya adalah barang tapi pasti ada yang membuat. Pembuatnya itulah yang akan mendapatkan dampak negatif dari keluhan anda.
Bagaimana agar tidak mengeluh?
Caranya mudah saja namun sulit ketika mengawalinya, apalagi untuk orang-orang yang terbiasa dengan mengeluh. Namun, ketika anda berhasil melakukannya anda akan merasakan perbedaan dalam diri anda ketika menjalani hidup. Caranya adalah cobalah untuk tidak mengeluarkan keluhan dan berkata kasar selama 3 hari berturut-turut. Mudah kan? Kalo memang mudah silakan dicoba. Jika gagal, jangan berhenti mencoba. Karena ini akan melatih anda untuk menahan keluhan yang anda rasakan agar tidak anda ucapkan, cukup dirasakan oleh anda sendiri dan nikmati semua prosesnya.
Selamat mencoba, semoga berhasil dan jadilah orang yang hebat dengan tidak mengeluh. Semoga bermanfaat.. :)  

Senin, 04 Maret 2013

Hapyy Birthday For Me

Ya Allah,
Hari ini tiba juga aku di usia ini
Hari di mana aku harus menjadi lebih bijaksana
Hari di mana aku harus menjadi lebih dekat dengan-Mu
Hari di mana aku harus bisa menjadi teladan bagi orang lain
Ya Allah,
Panjangkanlah usiaku agar hidupku menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain
Panjangkanlah usiaku agar aku dapat lebih memandang hidup
dengan penuh makna dalam kebesaran-Mu
Panjangkanlah usiaku agar aku dapat membimbing keluargaku
untuk dapat tunduk dan berbakti kepada-Mu
Panjangkanlah usiaku agar aku dapat lebih bersyukur
atas nikmat dan rizqi yang Engkau anugerahkan kepadaku
Ya Allah,
Jadikanlah aku menjadi hamba-Mu yang khusyu’ dan tawadhu’
dalam menerimah hikmah dan berkah-Mu
Bertambah usia dalam hitunganku
berkurang pula usiaku dalam hitungan-Mu
Ya Allah,
Aku percaya bahwa Engkau akan selalu berikan yang terbaik
untuk diriku, keluargaku, orang tuaku dan
semua sahabat sejatiku, yang selalu peduli padaku
Hanya pada-Mu lah aku senantiasa mengabdi dan
Hanya pada-Mu lah aku memohon pertolongan
Kabulkanlah do’a hamba-Mu ini Ya Allah..
Amin..amin..amin.. Yaa Robbal ‘Alamin..