Senin, 06 Agustus 2012

Cinta Yang Tak Pernah Padam


Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.

Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya.
Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. "Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?"

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!" "Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku. "Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada." Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

"Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. "Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."

Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael." Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?" Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini." Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini."

"Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar." Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan." Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?" Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini."

Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya," kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya."

"Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.

"Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?" Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. "Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah."

Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.


"Pengorbanan Seorang Ibu"


Cerita tentang Cinta Sejati... Its a nice story..

Seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan
bertanya kepada dokter,
" Bisa saya melihat bayi saya ?"

Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan
ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki
yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya.
Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang
ke arah luar jendela rumah sakit.
Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi
seorang anak itu bekerja dengan sempurna.
Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.
Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya
di pelukan sang ibu yang menangis.
Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi.

Anak lelaki itu terisak-isak berkata,
" Ma, seorang anak laki-laki besar mengejek saya.
Katanya, saya ini makhluk aneh."

Anak lelaki itu tumbuh dewasa.
Ia cukup tampan dengan cacatnya.
Ia pun disukai teman-teman sekolahnya.
Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis.
Ia ingin sekali menjadi ketua kelas.

Ibunya mengingatkan,
" Bukankah nantinya kamu akan bergaul dengan remaja-remaja lain ?"

Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.
Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa
mencangkokkan telinga untuknya.

Dokter itu berkata,
" Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya.
Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya."

Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan
telinga dan mendonorkannya pada mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu.
Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya.

Sang ayah berkata,
" Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan
telinganya padamu.
Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi.
Namun, semua ini sangatlah rahasia."

Operasi berjalan dengan sukses.
Seorang lelaki baru pun lahirlah.
Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan.

Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.
Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat.

Ia menemui ayahnya,
" Pa, saya harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua
pada saya.
Oranf itu telah berbuat sesuatu yang besar namun saya sama sekali belum
membalas kebaikannya."

Ayahnya menjawab,
" Papa yakin kamu takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah
memberikan telinga itu."

Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan,
" Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagi kamu untuk mengetahui semua
rahasia ini."

Tahun berganti tahun.
Kedua orangtua itu tetap menyimpan rahasia.
Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu.

Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya
yang baru saja meninggal.
Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang
terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah bahwa sang ibu tidak
memiliki telinga.

Sang ayah berbisik,
" Mama kamu pernah berkata bahwa Mama senang sekali bisa memanjangkan
rambutnya.
Dan tak seorang pun menyadari bahwa Mama telah kehilangan sedikit
kecantikannya bukan ?"

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam batin.
Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat,
namun pada apa yang tidak dapat terlihat.
Cinta yang sejati tidak terletak pada perbuatan kasih yang telah dikerjakan
dan diketahui, namun pada perbuatan kasih yang telah dikerjakan
namun tidak diketahui....
 
diposkan oleh "cerpen islami" 7 juni 2012

"Anak Cacat Itu Bernama SALIM"

Belum sampai 30 tahun usiaku ketika istriku melahirkan anak pertamaku. Masih aku ingat malam itu, dimana aku menghabiskan malam bersama dengan teman-temanku hingga akhir malam, dimana waktu semalaman aku isi dengan ghibah dan komentar-komentar yang haram. Akulah yang paling banyak membuat mereka tertawa, membicarakan aib manusia, dan mereka pun tertawa.Aku ingat malam itu, dimana aku membuat mereka banyak tertawa. Aku punya bakat luar biasa untuk membuat mereka tertawa. Aku bisa mengubah nada suara hingga menyeruapi orang yang aku tertawakan. Aku menertawakan ini dan itu, hingga tidak ada seorangpun yang selamat dari tertawaanku walaupun ia adalah para sahabatku. Hingga akhirnya sebagian dari mereka menjauhiku agar selamat dari lisanku.Aku ingat pada malam itu aku mengejek seorang yang buta, yang aku melihatnya sedang mengemis di pasar. Lebih buruk lagi, aku meletakkan kakiku di depannya untuk mendorongnya hingga ia goyah dan jatuh, hingga dia berpaling dengan kepalanya dan tidak mengetahui apa yang ia katakan. Leluconku menyebabkan orang-orang yang ada di pasar tertawa.Aku kembali ke rumah dalam keadaan terlambat seperti biasa. Aku mendapati istriku yang sedang menungguku tengah bersedih. Dia bertanya padaku, darimana saja kamu? Aku menjawabnya dengan sinis, “Aku lelah.” Kelelahan tampak jelas diwajahnya. Ia berkata dengan menangis tersedu, “Aku lelah sekali, tampaknya waktu persalinanku sudah dekat.”

Dalam diamnya, air matanya menetes di pipinya. Aku merasa bahwa aku telah mengabaikan istriku dalam hal ini. Seharusnya aku memperhatikannya dan mengurangi begadangku, lebih khusus di bulan kesembilan dari kehamilannya ini. Akhirnya, aku membawanya ke rumah sakit dengan segera dan aku masuk ke ruang bersalin. Aku seakan merasakan sakit yang sangat beberapa saat. Aku menunggu persalinan istriku dengan sabar, tapi ternyata sulit sekali proses persalinannya. Aku menunggu lama sekali hingga aku kelelahan. Maka aku pulang ke rumah dengan meninggalkan nomor HP ku di rumah sakit dengan harapan mereka mengabariku.

Setelah beberapa saat, mereka menghubungiku dengan kelahiran Salim. Maka aku bergegas ke rumah sakit. Pertama kali mereka melihatku, aku bertanya tentang kamarnya. Tetapi mereka memintaku untuk menemui dokter yang bertanggung jawab dalam proses persalinan istriku. Aku berteriak kepada mereka: “Dokter apa? Aku hanya perlu melihat anakku.” Akan tetapi mereka mengatakan: “Anda harus menemui dokter terlebih dahulu.”

Akhirnya aku menemui dokter tersebut. Lantas dia berbicara kepadaku tentang musibah dan ridha terhadap takdir. Kemudian ia berkata: “Mata kedua anak anda buruk, dan sepertinya dia akan kehilangan penglihatannya!”

Aku menundukkan kepala dan berusaha mengendalikan ucapanku. Aku jadi teringat dengan pengemis buta yang aku dorong di pasar dan menertawakannya di hadapan manusia.

Maha Suci Allah, sebagaimana engkau mengutuk, maka engkau akan dikutuk. Aku sangat sedih dan tidak mengetahui apa yang aku katakan. Kemudian aku ingat istri dan anakku. Aku berterima kasih kepada dokter atas kelemah lembutannya, lantas aku berlalu dan tidak melihat istriku. Adapun istriku maka dia tidak bersedih, dia ridha dan beriman terhadap takdir Allah. Seringkali ia menasehatiku untuk menjaga diri dari menertawakan orang lain, dan ia juga senantiasa mengulang-ulanginya agar aku tidak ghibah.

Kami keluar dari rumah sakit bersama Salim. Sungguh, aku tidak banyak memperhatikannya. Aku menganggapnya tidak ada di rumah. Ketika tangisannya sangat keras, aku lari ke lorong untuk tidur di sana. Sedangkan istriku sangat memperhatikan dan mencintainya. Sebenarnya aku tidak membencinya, tetapi masih belum bisa mencintainya.

Salim pun semakin besar. Mulailah dia merangkak, akan tetapi cara merangkaknya aneh. Umurnya hampir setahun, dan mulailah dia berjalan. Maka semakin jelas jika dia pincang. Maka beban yang berada di pundakku semakin besar. Setelah itu istriku melahirkan anak yang normal setelahnya, Umar dan Khalid. Berlalulah beberapa tahun dan Salim semakin besar, dan tumbuh besar pula saudara-saudaranya. Aku sendiri tidak seberapa suka duduk-duduk di rumah, seringkali aku menghabiskan waktu bersama dengan teman-temanku.

Istriku tidak pernah putus asa untuk senantiasa menasehatiku. Dia senantiasa mendoakanku agar mendapat hidayah. Dia tidak pernah marah terhadap perbuatanku yang gegabah. Akan tetapi, ia sangat bersedih jika melihatku banyak memperhatikan saudara-saudara Salim, sementara kepada Salim aku meremehkannya. Salim semakin besar dan harapanku kepadanya juga semakin besar. Aku tidak melarang ketika istriku memintaku agar mendaftarkan Salim di salah satu sekolah khusus penyandang cacat. Tidak terasa aku telah melalui beberapa tahun hanya aku gunakan untuk bekerja, tidur, makan dan begadang dengan teman-temanku.

Pada hari Jumat, aku bangun pada pukul 11.00 waktu zhuhur. Dan ini masih terlalu pagi bagiku, dimana ketika itu aku diundang untuk menghadiri suatu perjamuan. Aku berpakaian, mengenakan wewangian dan hendak keluar. Aku berjalan melalui lorong rumah, namun wajah Salim menghentikan langkahku. Dia menangis dengan meluap-luap!

Ini adalah kali pertama aku memperhatikan Salim semenjak dia masih kecil. Telah berlalu 10 tahun, tetapi aku tidak pernah memperhatikannya. Aku mencoba untuk pura-pura tidak tahu, tetapi tidak bisa. Aku mendengarkan suaranya yang sedang memanggil ibunya, sementara aku sendiri berada di dalam kamar. Aku melihatnya dan berusaha mendekat kepadanya. Aku berkata: “Salim, mengapa engkau menangis?” Ketika mendengar suaraku, ia berhenti menangis. Maka ketika ia merasa aku telah berada di dekatnya, dia mulai merasakan apa yang ada di sekitarnya dengan kedua tangannya yang kecil. Dengan apakah dia melihat? Aku merasa bahwa dia berusaha untuk menjauh dariku!! Seolah-olah ia berkata: “Sekarang engkau telah merasakan keberadaanku. Dimana saja engkau selama 10 tahun yang lalu?!” Aku mengikutinya, ia masuk ke dalam kamarnya. Ia menolak memberitahukan kepadaku sebab dari tangisannya. Maka aku mencoba untuk berlemah lembut kepadanya. Mulailah Salim menjelaskan sebab tangisannya. Aku mendengar ucapannya, dan aku mulai bangkit.

Apakah kalian tahu apa yang menjadi sebabnya!! Saudaranya, Umar, terlambat, terlambat mengantarkannya pergi ke masjid, sebab ketika itu adalah shalat jumat, dia khawatir tidak mendapatkan shaf pertama. Ia memanggil Umar, ia memanggil ibunya, akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, akhirnya ia menangis. Aku melihat airmata yang mengalir dari kedua matanya yang tertutup. Aku belum bisa memahami kata-katanya yang lain. Aku meletakkan tanganku kepadanya dan berkata: “Apakah untuk itu engkau menangis, wahai Salim…?!”

Dia berkata, “Ya…”

Aku telah lupa dengan teman-temanku, aku telah lupa dengan undangan perjamuan.

Aku berkata: “Salim, jangan bersedih! Tahukah engkau siapakah yang akan berangkat denganmu pada hari ini ke Masjid?”

Ia berkata: “Dengan Umar tentunya, tetapi ia selalu terlambat.”

Aku berkata: “Bukan, tetapi aku yang akan pergi bersamamu.”

Salim terkejut, ia seakan tidak percaya. Dia mengira aku mengolok-oloknya. Dia meneteskan airmata kemudian menangis. Aku mengusap airmatnya dengan tanganku dan aku pegang tangannya. Aku ingin mengantarkannya dengan mobil, tetapi ia menolak seraya mengatakan: “Masjidnya dekat, aku hanya ingin berjalan menuju masjid!”

Aku tidak ingat kapan kali terakhir aku masuk ke dalam masjid. Akan tetapi ini adalah kali pertama aku merasakan adanya takut dan penyesalan atas apa yang telah aku lalaikan selama beberapa tahun belakangan. Masjid itu dipenuhi dengan orang-orang yang shalat, kecuali aku mendapati Salim duduk di shaf pertama. Kami mendengarkan khutbah jumat bersama, dan dia shalat di sampingku. Bahkan, sebenarnya akulah yang shalat di sampingnya.

Setelah shalat, Salim meminta kepadaku sebuah mushaf. Aku merasa aneh, bagaimana dia akan membacanya padahal ia buta? Aku hampir saja mengabaikan permintaannya dan berpura-pura tidak mengetahui permintaannya. Akan tetapi aku takut jika aku melukai perasaannya. Akhirnya aku mengambilkan sebuah mushaf. Aku membuka mushaf dan memulainya dari surat al Kahfi. Terkadang aku membalik-balik lembaran, terkadang pula aku melihat daftar isinya. Maka ia mengambil mushaf itu dari tanganku kemudian meletakkannya. Aku berkata: “Ya Allah, bagaimana aku mendapatkan surat al kahfi, aku mencari-carinya hingga mendapatkannya di hadapannya!!”

Mulailah ia membaca surat itu dalam keadaan kedua matanya tertutup. Ya Allah…!! Ia telah hafal surat al Kahfi secara keseluruhan…!

Aku malu pada diriku sendiri. Aku memegang mushaf, namun aku rasakan seluruh anggota badanku menggigil. Aku baca dan aku baca. Aku berdoa kepada Allah agar mengampuniku dan memberi petunjuk kepadaku. Aku tidak kuasa, maka mulailah aku menangis seperti anak kecil. Manusia masih berada di masjid untuk mendirikan shalat sunnah. Aku malu pada mereka, maka mulailah aku menyembunyikan tangisanku. Maka berubahlah tangisan itu menjadi isakan.

Aku tidak merasakan apa-apa ketika itu kecuali melalui tangan kecil yang meraba wajahku dan mengusap kedua airmataku. Dialah Salim!! Aku dekap dia ke dadaku dan aku melihatnya. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Engkau tidaklah buta wahai anakku, akan tetapi akulah yang buta, ketika aku bersyair di belakang orang fasiq yang menyeretku ke dalam api neraka.”

Kami kembali ke rumah. Istriku sangat gelisah terhadap Salim. Namun seketika itu juga kegelisahannya berubah menjadi airmata kebahagiaan ketika ia mengetahui bahwa aku telah shalat jumat bersama Salim.

Sejak saat itu, aku tidak pernah ketinggalan untuk mendirikan shalat jamaah di masjid. Aku telah meninggalkan teman-teman yang buruk. Sekarang aku telah mendapatkan banyak teman yang aku kenal di masjid. Aku merasakan nikmatnya iman bersama mereka. Aku mengetahui dari mereka banyak hal yang dilalaikan oleh dunia. Aku tidak pernah ketinggalan mendatangi kelompok-kelompok pengajian atau shalat witir. Aku telah mengkhatamkan al Quran beberapa kali dalam sebulan. Lisanku telah basah dengan dzikir agar Allah mengampuni dosa-dosaku berupa ghibah dan menertawakan manusia. Aku merasa lebih dekat dengan keluargaku. Hilang sudah ketakutan dan belas kasihan yang selama ini ada di mata istriku. Senyuman tidak pernah pergi menjauhi wajah anakku, Salim. Siapa yang melihatnya akan mengira bahwa dia adalah seorang malaikat dunia beserta isinya. Aku banyak memuji Allah atas segala nikmat-Nya.

Suatu hari, teman-temanku yang shalih menetapkan diri melakukan safar untuk berdakwah. Aku ragu-ragu untuk pergi. Aku melakukan istikharah dan bermusyawarah dengan istri. Aku merasa dia akan menolak keinginanku. Akan tetapi ternyata sebaliknya, ia menyetujui keinginanku! Aku sangat bahagia, bahkan ia memotivasiku. Dia telah melihat masa laluku, dimana aku melakukan safar tanpa musyawarah dengannya sebagai bentuk kefasiqan dan perbuatan jahat.

Aku menghadap ke arah Salim. Aku mengabarinya jika aku hendak melakukan safar. Maka dia memegangku dengan kedua tangannya yang masih kecil sebagai ungkapan selamat jalan.

Aku telah meninggalkan rumahku lebih dari satu bulan. Selama itu, aku masih senantiasa menghubungi istriku dan juga berbicara kepada anak-anakku selama ada kesempatan. Aku sangat rindu kepada mereka. Ah, betapa rindunya aku kepada Salim. Aku sangat ingin mendengarkan suaranya. Dialah satu-satunya yang belum berbicara denganku semenjak aku melakukan safar. Bisa jadi karena dia berada di sekolah, bisa juga dia berada di masjid ketika aku menghubungi mereka.

Setiap kali aku berbicara dengan istriku perihal kerinduanku padanya (Salim), maka ia tertawa suka cita dan bahagia. Kecuali kali terakhir aku meneleponnya, aku tidak mendengar tawanya seperti biasa, suaranya berubah.

Aku berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Salim.” Istriku menjawab: “Insya Allah…!” Kemudian ia terdiam.

Terakhir, aku pun kembali ke rumah. Aku ketuk pintu. Aku berangan-angan jika Salim yang akan membukakan pintu itu. Akan tetapi, aku mendapati anakku Khalid yang usianya belum sampai 4 tahun membukakan pintu. Aku gendong dia, dan dia berteriak-teriak: “Baba…baba…”

Aku tidak tahu kenapa dadaku berdebar ketika memasuki rumah.

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Istriku menyambutku. Wajahnya mulai berubah, seolah-olah kebahagiaannya dibuat-buat.

Aku perhatikan ia baik-baik kemudian aku bertanya: “Ada apa denganmu?”

Ia berkata: “Tidak apa-apa.”

Tiba-tiba aku teringat Salim, maka aku berkata: “Dimana Salim.”

Istriku menundukkan wajahnya dan tidak menjawab. Airmata yang masih hangat menetes di pipinya.

Aku berteriak, “Salim…! Di mana Salim?”

Aku mendengar suara anakku Khalid yang hanya bisa mengatakan: “Baba…”

“Salim telah melihat surga,” kata istriku.

Istriku tidak kuasa dengan situasi ketika itu. Ia hendak menangis, hampir saja ia pingsan. Maka kemudian aku keluar dari kamar.

Aku tahu setelah itu, bahwa Salim terserang panas yang sangat tinggi beberapa hari sebelum kedatanganku. Istriku telah membawanya ke rumah sakit, ketika tiba disana maka ia menghembuskan nafas terakhir. Ruhnya telah meninggalkan jasadnya.
Aku mengira, anda semua wahai para pembaca akan menangis, dan air mata anda akan mengalir sebagaimana air mata kami juga mengalir. Anda akan tersentuh sebagaimana kami juga tersentuh. Aku berharap Anda semua tidak lupa untuk mendoakan Salim, lebih khusus lagi bagi ibunya yang tetap teguh menjalankan tugasnya walaupun suaminya pergi. Jadilah ibu tersebut seperti perusahaan sebenarnya yang menghasilkan kaum laki-laki yang kuat. Semoga Allah membalas amal kebaikannya.(Pelaku dari kisah ini termasuk diantara dai yang ternama dan terkenal. Ia memiliki banyak rekaman, ceramah dan tulisan. Sumber diambil dari kisah yang berjudul “Allah Azza wa Jalla memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki”, majalah Qiblati edisi 02 thn VII)