Senin, 14 Mei 2012

pengalaman hidup


Setelah pada artikel sebelumnya saya menjelaskan bagaimana memilih tujuan hidup yang baik sesuai dengan persepsi dan kepercayaan kita. Kali ini saya akan bercerita mengenai tujuan-tujuan hidup saya dalam hidup ini dan lika-liku perjalanan dalam mengejar dan menentukan tujuan saya. Semoga anda sudah menemukan tujuan hidup anda yang paling besar dan paling baik untuk diri anda dan orang-orang yang anda sayangi.
Sebelumnya perkenalkan dulu nama saya Galih Permana Putra, anda bisa memanggil saya dengan nama Galih, Aih, Mbe, Kaming, Sutet, atau PePe. Mungkin anda agak sedikit aneh dengan nama-nama panggilan saya. Namun nama-nama itulah yang paling sering teman-teman saya gunakan untuk memanggil saya dan semua nama itu memiliki sejarah masing-masing sehingga saya tidak menghilangkan satupun nama panggilan saya karena saya ingin selalu mengenang dan tidak melupakan apa yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Saya seorang anak yatim piatu, ayah saya meninggal ketika saya masih berumur sekitar 5-6 tahun dan ibu saya meninggal ketika saya SMP kelas 1. Dan sekarang saya berumur 21 tahun, kuliah di salah satu PTS di Tasikmalaya. Di dunia ini saya hidup bersama 2 orang adik laki-laki dan 2 orang kakak perempuan dan nenek saya tercinta yang telah mengayomi dan membimbing saya selama ini.
Saya memiliki cita-cita pertama saya pada saat SD kelas 1, itupun karena setiap murid di kelas saya ditanya oleh guru kelas mengenai cita-cita mereka bukan karena keinginan dan hasil pemikiran saya, dan saya menjawab ingin menjadi seorang guru. Kenapa saya menjawab seperti itu? Entahlah, kata “guru” itulah yang pertama kali saya ingat. Mungkin karena kedua orang tua saya seorang guru sehingga saya akrab dengan kata “guru” tersebut. Namun seperti anak-anak SD pada umumnya cita-cita itu tak bertahan lama kemudian saya berganti cita-cita ingin menjadi seorang polisi karena seorang keluarga saya melihat postur tubuh saya sewaktu kecil dulu terlihat besar dan kekar, walaupun sekarang lebih seperti ‘ayam boyler’, besar tapi lembek. *Hehe :D*. Itulah cita-cita kedua saya dan cita-cita pertama yang murni hasil dari pemikiran dan keinginan pribadi saya.
Waktu berlalu dari SD hingga SMA, setelah berjuang mengatasi rasa kehilangan karena kematian ayah dan ibu saya dengan berbagai cara dari mulai kenakalan-kenakalan remaja saat itu seperti minum-minuman keras, nongkrong sana nongkrong sini demi mencari pengganti rasa kesepian dan kesedihan saya. Masa-masa SD-SMA kelas 2 saya lewati tanpa ada sesuatu yang berarti. Sampai saya menginjak kelas 2 SMA tepatnya pada semester 2. Saya dididik oleh beberapa orang guru yang luar biasa, mengajarkan kepada murid-muridnya mengenai kehidupan, mengenai pencarian jati diri, mengenai ketabahan, mengenai kegigihan, mengenai tanggung jawab dan mengenai cita-cita. Ada satu kejadian yang saya masih ingat persis sampai sekarang, yaitu ketika saya di remedial ulangan mata pelajaran Biologi selama 5 kali dan tidak pernah bisa lulus. Namun itulah yang membuat saya sadar setelah mendapatkan ceramah dari guru Biologi saya saat itu Ibu Hj. Iis namanya. Dari sanalah saya mulai berpikir tanggung jawab dan menerima resiko dari apapun yang saya lakukan. Kepala saya secara otomatis langsung terhubung dengan cepat seperti koneksi Wi-Fi di Gedung DPRD yang sering saya gunakan untuk browsing dan menimbulkan beberapa karakter pada layar pikiran saya. Kenapa  saya hidup? Untuk apa saya hidup? Kenapa saya sekolah? Kenapa saya begini? Kenapa saya begitu? Dan pertanyaan-pertanyaan lain mengenai kehidupan saya. Jawaban yang saya temukan saat itu hanya dapat menjawab dua pertanyaan saja yaitu saya hidup karena saya dilahirkan oleh Allah melalui rahim ibu saya, dan saya sekolah karena ingin mendapatkan ilmu yang bisa saya gunakan untuk mendapatkan pekerjaan saat nanti saya sudah dewasa. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan lain tidak bisa saya jawab.
Ketika kelulusan SMA dan sebelum mendaftar ke perguruan tinggi, pada saat itulah saya mulai berpikir mengenai apa yang saya inginkan dalam hidup ini khususnya dalam keprofesian yang ingin saya miliki nanti. Saat itu saya teringat dengan cita-cita saya sewaktu SD yaitu menjadi guru dan saat ini saya memiliki mata pelajaran yang sangat saya senangi yaitu Biologi. Setelah berdiskusi dengan kakak-kakak saya dan mereka memberikan kebebasan kepada saya untuk memilih  jurusan dalam jenjang pendidikan saya yang berikutnya yaitu ke perguruan tinggi, saya memutuskan untuk mengikuti tes masuk di tempat saya kuliah sekarang dengan mengambil pilihan jurusan pertama pada FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Biologi dan pilihan kedua pada FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat). Minat saya dalam pelajaran biologi memang cukup besar saat itu. Namun Allah berkehendak lain, saya gagal masuk ke jurusan Biologi dan saya masuk ke Fakultas Kesehatan Masyarakat, tak apalah dalam ilmu kesehatan juga tetap ada pelajaran biologi. Sedikit menghibur hati saya.
Setelah satu semester saya masuk kuliah, saya mengikuti OTC (Organitation Training Centre) yang diadakan oleh BEM fakultas saya. Dan menjadi anggota OR (Open Recruitment) selama ± 1 tahun. Pada saat menjadi anggota OR inilah kehidupan saya benar-benar berubah 180˚. Sangat amat banyak pelajaran mengenai kehidupan yang saya dapat selama menjadi OR. Menjadi anggota OR selama satu tahun mampu membuat saya mengenali diri saya, pertanyaan-pertanyaan saya sewaktu SMA dulu mengenai kehidupan saya terjawab semua. Saya berubah menjadi seseorang yang dewasa, bertanggung jawab dan bisa bekerja sama dengan orang lain, tegas, dan rajin (menurut teman-teman saya). Saya juga bisa mengenali diri saya yang keras kepala, kekanak-kanakan pada saat-saat tertentu, plin-plan, kurang bisa mengatur keuangan dan waktu dan lain sebagainya. Semua itu saya dapatkan setelah saya menjalani kehidupan di organisasi. ada satu kalimat yang sampai sekarang masih membuat saya heran.
“Diri kita saat ini, hari ini adalah hasil dari apa yang kita dapatkan pada masa lalu dan hari kemarin dan yang kita dapatkan itu berasal dari pelajaran yang kita sadari penerimaanya dan tidak kita sadari penerimaannya selama menjalani hidup”.
Saya sama sekali tidak berpikir bahwa semua yang terjadi pada saya sewaktu kecil sampai saat itu membantu saya membentuk karakter pribadi saya. Karena selama ini saya hanya menjalani hidup mengikuti apa yang telah Allah takdirkan tanpa memikirkan manfaatnya pada diri saya. Saya bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia berikan pada hidup saya.
Sejak saat itu saya mulai menyusun cita-cita saya dikemudian hari beserta dengan batas-batas dan indicator yang harus saya capai sebagai tanda kesuksesan saya dalam mengejar cita-cita saya. Semuanya tergambar jelas dalam benak saya, apa saja yang akan saya lakukan selama kuliah dan apa yang saya lakukan pada saat setelah lulus kuliah demi mencapai cita-cita yang telah saya tanam sendiri dalam batin saya. Cita-cita tak perlu dikatakan atau diungkapkan pada orang lain, jika seseorang bercita-cita mendapatkan sesuatu dan memiliki keinginan untuk memperjuangkan cita-citanya itu, akan terlihat dengan sendirinya ketika kita bersikap dan mengambil tindakan dalam menjalalni kehidupan ini. Karena orang yang memiliki keinginan untuk memperjuangkan cita-citanya pasti memiliki suatu aturan tak tertulis dalam memilih apa yang akan mereka lakukan. Dan ingat jangan pernah menyerah dan jangan pernah kalah dengan semua keterbatasan yang kita miliki di dunia ini. Putus asa hanya berlaku untuk orang-orang ‘bodoh’. Tak ada yang tidak mungkin didunia ini selama kita mau berusaha. Dan ketika kaki kita tak mampu lagi melangkah, mulut kita tak mampu lagi berucap, mata kita tak mampu lagi menatap api semangat, telinga kita tak mampu lagi mendengar teriakan semangat, hanya satu yang bisa kita lakukan “bertawakalah !!” percayakan semua pada Allah. Dzat yang telah menciptakan kita dengan takdir yang telah Dia tetapkan. Berdo’a dan berusahalah sampai batas terakhir kemampuan kita. Semua yang kita usahakan Insyaallah akan mendapat hasil yang sesuai dengan usaha yang kita lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar