Cileunyi. Siang hari yang mendung.
Di jalan sempit berbatu di tepian persawahan yang tidak lagi menghampar, mataku menatap sebuah penggalan hidup.
Seorang pria menjelang tua berdiri terrtegun. Pandangannya kosong. Wajahnya diliputi kekhawatiran – sedikit menunjukan rona menangis – pasrah.Tangannya tetap tidak lepas dari gerobak yang rasanya dari tadi didorongnya. Entah dari mana. Gerobak besi berdinding seng. Kosong. Tanpa barang-barang jualan atau barang-barang belanjaan. Hanya segelintir sampah plastik bekas air minum kemasan tergeletak di dalamnya.
Ternyata gerobak itu tidak kosong.Tiga makhluk Allah mungil ternyata duduk di dalamnya. Semua dalam diam. Tanpa ocehan. Tanpa keceriaan. Hanya wajah polosnya masing-masing.

Trenyuh. Pemandangan yang memberi banyak warna. Banyak makna. Kesedihan. Kemiskinan, Keprihatinan. Kepolosan. Ketegaran atau kesabaran atau bahkan kepasrahan.
“Aaargh…..itu hanya sandiwara” – sebuah suara tanpa kata mengiang di telinga.
“Itu tipuan saja. Seringkali kau lihat di Bintaro Jaya. Apalagi saat puasa. Itu sandiwara” – suara itu muncul lagi,
“Lihat di sudut sana. Ada orang dewasa. Maen hape, merokok pula. Mereka memanfaatkan rasa iba”.
Langkahku mendekati gerobak itu terhenti.
“Tapi…..”. Lalu kumantapkan langkahku mendekati gerobak itu.
Saat itu, sebuah suara lembut yang pernah saya dengar dulu, kembali terdengar di telingaku, di hatiku, di batinku.
“Tugas kita berbuat baik. Tugas kita bersedekah. Jika mau bersedekah, SEDEKAHLAH. Jangan biarkan pikiran yang terlalu jauh mencegahmu untuk bersedekah. Janganlah kata-kata “mungkin saja dia…”, “bisa jadi dia…” menahanmu bersedekah. Bersedekahlah. Ikhlaslah. Dan biarkanlah Allah yang kemudian “berbicara”.
####****
Kawan. Jangan sampai sebuah peristiwa atau pemandangan yang menjadi biasa mengubah nurani kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar