Kau kini
tumbuh besar kawan.
Kau lihat ayah
semakin menua dan melemah.
Kini,
Dia berbeda
dengan yang dulu.
Dulu ia berani
berbicara dengan nada keras ketika kau salah.
Tapi kini,
nada suaranya begitu rendah padamu.
Tapi kini kau
selalu di minta pendapat olehnya.
Dulu tangannya
begitu mudah melayang padamu.
Kini
tanggannya sulit untuk menyentuhmu dengan kekasaran
Ia
menyekolahkanmu,
sehingga ia
menyadari bahwa kau orang berilmu.
Ia melihatmu
mulai berprestasi,
sehingga ia
melihatmu tidak sebagai orang biasa.
Ia melihatmu
diperlukan banyak orang.
Sehingga ada
rasa segan padanya dan memperlakukanmu sebagaimana dulu.
Ia melihat
dirimu sudah bisa mencari uang.
Sehingga
dia merasa bahwa kau sudah mandiri.
Kawan,
apakah karena
berilmu, lalu kita berani membodoh-bodohkan bapak tua kita?
Apakah karena
sudah bisa mencari uang sendiri lalu kita perlakukan mereka seperti babu?
Apakah karena
kita diperlukan banyak orang, kita anggap mereka tak berharga?
Kita sibuk
dengan proyek dan bisnis tanpa ada sapa untuk mereka.
Apakah karena
kita sudah merasa menjadi raja.
Kita anggap
mereka pembantu atau orang kampung pinggiran yang tak berguna.
Bodoh sekali,
kalau semua itu membuat kita memandang rendah bapak dan ibu.
Hanya karena
alasan karir, uang, profesi dan teman-teman yang belum tentu setia.
Telah memberi
derajat kita sebagai manusia.
Kalau diantara
kita ada yang seperti itu,
kita telah
menjual bapak dan ibu,
kita telah
menghilangkan kerinduan dalam hati mereka memiliki seorang anak.
Setelah sekian
lama diperjuangkan, kita melupakannya.
Untuk apa kita
hidup, kita bekerja, kita belajar, percuma !
Ingat,
mereka semakin
menghargai kita semakin kita bertambah besar.
Ia juga
semakin menyimpan harapan di pundak kita.
Karena kita
anak yang ia banggakan, anak yang ia jagokan
Kawan,
Tangismu tak
berguna.
Kawan,
buatlah mereka
tersenyum dan menangis karena memilikimu.
Bukan menangis
sakit hati, tapi bangga.
Bahwa inilah
anak yang dulu ia dambakan kehadirannya.
-Bambang
Achdiat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar